Senin, 26 September 2011

Keseimbangan antara Kehidupan dan Penghidupan

Hai gan! Apa Kabar?
Semoga Kita Selalu Diselimuti Kebahagian Disetiap Harinya

Ketika seseorang tengah berjuang untuk mendapatkan nafkahnya, kita biasa menyebutnya ‘sedang mencari penghidupan’. Sedangkan ketika seseorang memberi nilai kepada dunia dengan apa yang bisa dilakukannya, maka kita menyebutnya; ‘berkontribusi kepada kehidupan’. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mirip, namun antara ‘penghidupan’ dan ‘kehidupan’ itu terdapat perbedaan yang signifikan. Albert Schweitzer menggambarkannya dalam sebuah kalimat yang indah; “We make a living by what we get, but we make a life by what we give”. Kita memperoleh penghidupan dengan apa yang kita dapatkan, namun kita membangun kehidupan dengan apa yang kita berikan. Dalam nasihat itu ada sebuah isyarat untuk terus gigih berusaha agar mendapatkan nafkah yang layak. Namun pada saat yang sama, kita diingatkan untuk berkontribusi kepada orang lain. Mengapa? Karena nilai hidup kita tidak semata-mata ditentukan oleh pendapatan kita, melainkan oleh kontribusi kita.

Keseimbangan Antara Penghidupan dan Kehidupan | Hajsmy Blog
Mana yang harus didahulukan; penghidupan ataukah kehidupan? Idealnya, keduanya bisa berjalan saling beriringan. Namun, hal itu bukan soal yang mudah. Kebutuhan nafkah sering menempatkan saya pada situasi dimana ‘mendapatkan’ sesuatu harus menjadi prioritas sehingga ‘memberikan’ sesuatu sering terabaikan. Awalnya saya percaya bahwa ‘nanti kalau saya sudah sukses’ maka saya akan bisa ‘memberi atau melakukan sesuatu’ untuk orang lain. Namun, kenyataannya saya tidak pernah sampai kepada titik yang bernama ‘nanti’ itu. Hal itu berlangsung terus sampai saya menemukan bahwa kita bisa berkontribusi melalui hal-hal yang paling sederhana.

Tak Menangis saat Kalah

Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab ini adalah babak final.
Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri,sebab memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama Louise.
Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna.
Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya.
Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 "pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah di antaranya.

Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa.

Lalu, semenit kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!". Dor!!! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.

"Ayo..ayo... cepat..cepat, maju..maju", begitu teriak mereka. Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. "Terima kasih."

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya.

"Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?" Mark terdiam.

"Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain, aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah."

Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan. (sumber)